Penyakit ADHD pada Anak: Sebuah Pengalaman Pribadi dan Pelajaran yang Dipetik
Jujur, ketika pertama kali mendengar diagnosis Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) pada anak saya, saya merasa bingung dan sedikit cemas. Pada saat itu, saya tidak tahu banyak tentang ADHD. Sebenarnya, saya kira anak saya hanya memiliki energi berlebih. Siapa yang mengira bahwa kegelisahan yang konstan dan kesulitan fokus itu sebenarnya adalah gejala dari sesuatu yang lebih serius? Tapi begitulah, setelah berkonsultasi dengan beberapa ahli, diagnosis itu akhirnya datang.
Jika Bunda adalah orang tua yang baru mendengar diagnosis ADHD pada anak, izinkan saya berbagi beberapa hal yang telah saya pelajari selama perjalanan ini. Salah satu pelajaran terbesar yang saya dapat adalah pentingnya untuk memahami bahwa ADHD bukanlah “kesalahan” atau tanda bahwa anak Bunda kurang cerdas. Saya sendiri pernah membuat kesalahan ini di awal, memaksa anak saya untuk “lebih fokus” atau “duduk diam.” Aduh, betapa salahnya saya waktu itu! ADHD bukanlah masalah disiplin, tetapi lebih ke kondisi neurologis yang memengaruhi bagaimana anak-anak berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.
Salah satu momen yang membuat saya frustrasi—dan mungkin Bunda juga akan merasakannya—adalah ketika anak saya tidak bisa menyelesaikan tugas sekolah. Bukan karena dia tidak mampu, tetapi dia sering teralihkan oleh hal-hal kecil seperti suara burung di luar jendela atau bayangan di dinding. Di saat itulah saya benar-benar sadar, ADHD memengaruhi kemampuan anak untuk memusatkan perhatian, bahkan pada hal-hal yang tampak sederhana.
Namun, ada harapan. Kami mulai menerapkan struktur harian yang lebih teratur di rumah, sesuatu yang membantu anak saya untuk fokus. Misalnya, membuat jadwal yang jelas dan menyiapkan waktu istirahat yang teratur di antara tugas-tugas membuat perbedaan besar. Saya juga belajar bahwa memecah tugas besar menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sangat membantu. Semisal, alih-alih meminta anak saya menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah dalam satu sesi, saya membagi pekerjaan itu menjadi potongan-potongan kecil, yang bisa ia kerjakan satu demi satu. Ini jauh lebih efektif!
Saya juga ingin menekankan pentingnya komunikasi dengan guru di sekolah. Kami berdiskusi tentang cara-cara yang bisa membantu anak saya tetap terlibat dalam pelajaran tanpa merasa terbebani. Salah satu solusi yang kami temukan adalah memberinya lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tugas dan ujian. Terkadang, anak-anak dengan ADHD butuh sedikit lebih banyak waktu untuk memproses informasi.
Tentu saja, perjalanan ini tidak selalu mudah. Ada hari-hari di mana anak saya merasa sangat frustrasi karena dia ingin fokus, tetapi otaknya tidak mengizinkannya. Di momen-momen seperti ini, saya belajar untuk lebih sabar dan memberinya dukungan emosional. Meskipun begitu, tantangan ini juga mengajarkan saya banyak tentang pentingnya fleksibilitas sebagai orang tua.
Yang paling penting adalah jangan merasa bahwa Bunda harus melalui ini sendiri. Terdapat banyak sumber daya dan komunitas di luar sana yang bisa membantu. Mulai dari terapi, pelatihan orang tua, hingga grup dukungan, semua ini bisa memberikan wawasan yang sangat dibutuhkan. Dan yang terpenting? Anak kita, dengan segala energinya yang luar biasa, punya potensi besar—mereka hanya butuh pendekatan yang tepat untuk berkembang.
Jadi, jika Bunda sedang bergulat dengan tantangan ini, ingatlah bahwa ADHD bukanlah akhir dari dunia. Ini hanyalah cara berbeda dalam melihat dunia, dan dengan sedikit penyesuaian, anak-anak kita bisa tetap berkembang dengan caranya sendiri. Jangan pernah takut untuk meminta bantuan, karena di balik setiap tantangan, selalu ada solusi.
Penyakit ADHD pada Anak – Cek Skrining ADHD